irhabi al-mubarok

Bookmark and Share

Sabtu, 18 April 2009

Pilih "Tokek" di pemilu 2009

Pemilu 2009 ini memang banyak berbeda dibandingkan Pemilu sebelumnya. Lebih banyak partai, lebih banyak caleg, lebih banyak masalah, lebih banyak janji yang diumbar, lebih banyak iklan, lebih banyak anggaran yang dikeluarkan "sia-sia", dan banyak lainnya.

Kebingungan konstituen bertambah karena para caleg itu tidak ada yang dikenal dengan baik kualitasnya. Boro-boro kualitas, visi misi saja tidak jelas, bahkan nama pun tidak kenal. Orang Jakarta jadi caleg daerah pilihan (dapil) Solo, orang Sumatera jeblus, muncul di Jawa. Orang Jawa mewakili masyarakat Papua.

Simpang siur tidak jelas. Sama tidak jelasnya dengan latar belakang pendidikan dan profesi mereka sebenarnya, yang menurut rahasia umum banyak berijasah palsu, bergelar palsu, dan kurang lebih 70% dari mereka pengangguran tidak jelas profesi sebenarnya.

Konstituen makin tidak semangat --setelah bingung-- karena pengalaman selama ini membuktikan, para wakil mereka di parlemen tidak lebih dari orang-orang yang tukang mangkir dari tugas, suka titip absen, suka korupsi, dugem, penenggak miras dan narkoba, main perempuan, tukang rekreasi, dan bahkan tukang tidur. Ketika mereka ditanya tentang masalah terkait tugas dan tanggung jawabnya, banyak yang hanya bisa bicara, “aaa... mmm... eee... bla-bla-bla... Tidak karuan.”

Lebih konyol lagi beberapa waktu lalu, ada caleg ditangkap polisi karena mencuri motor. Sebuah tindakan kriminal rendahan yang pastinya dilakukan orang yang bermoral rendah. Itu baru yang ketahuan, bagaimana yang "beruntung" tidak tertangkap basah melakukan pelanggaran norma dan aturan? Pastinya mereka sekarang sedang nyengir-nyengir kuda sambil mengelus dada dan memanggil-manggil Ki Slamet.

Apakah sebegitu buruknya potret para caleg kita? Apa tidak ada yang baik? Jawabnya pasti ada, selalu ada yang terbaik di antara kumpulan yang buruk-buruk.

Tapi bagaimana memilih yang terbaik di antara yang buruk?

Kampanye terbuka yang dilakukan partai peserta pemilu semuanya sama, merupakan "Panggung Konser Musik" yang secara resmi dibuka oleh para petinggi partai. Apakah kita harus memilih berdasarkan siapa artis yang tampil di atas panggung?

Bisa jadi. Masak saya yang berkerudung memilih partai yang menampilkan goyangan artis si Tukang Gergaji. Masak saya yang berbaju koko dan berkopiah harus memilih partai yang menampilkan orang slengekan jingkrak-jingkrak di atas panggung? Haruskah memilih partai yang hanya menampilkan orang tua-tua di atas panggung? Atau partai yang menampilkan para kyai yang berantem rebutan pengaruh, atau partai yang menghadirkan arwah Bapak Besar-nya ke atas panggung?

Atau kita harus memilih berdasarkan nomor urut? Seperti penggemar togel, nomor atau angka sangat berarti dalam Pemilu.

Sebuah partai mengklaim nomor partainya paling "hoki", karena merupakan rangkaian dua bulatan yang bersambung tidak terputus. Partai ini mengaku memegang asas tauhid. Tapi entah kenapa masih percaya tafsir nomor ala Ki Joko Bodo.

Partai satu ini memang bisa disebut sebagai partai kreatif sekali. Bagaimana tidak? Nomor urut partai yang jelas-jelas hanya kebetulan, dibilang membawa keberuntungan. Pemimpin diktator pelopor budaya nepotisme, korupsi dan kolusi dijadikan panutan, digadang-gadang sebagai bapak bangsa.

Hebatnya, para petinggi partai katanya tidak mengetahui iklan menyangkut bapak bangsa yang dipasang oleh "anak-anak muda" mereka. Bisa dibayangkan, pemimpin tidak tahu kelakuan anak buahnya? Aneh kan?

Mungkin kita perlu memilih berdasarkan orang-orang yang tergabung di dalamnya. Ada partai yang dijuluki partainya para kyai. Namun, sayangnya partai ini bukan dikenal sebagai Partai Kyai Berwibawa, melainkan Partai Kyai Berantem. Kalau sudah menyangkut masalah jumlah suara, para kadernya sibuk cuap-cuap sana sini mencari pendukung. Kehebohannya menyamai gosip artis, banyak disorot media massa cetak maupun elektronik. Sebenarnya ada alternatifnya, Partai Kelompok Ndompleng Ulama. Tapi namanya mendompleng, biasanya tidak jauh beda dari akarnya dulu.

Partai yang yang membanggakan pendirinya mungkin lebih baik, sebab Partai Bapak Bangsa ini dulu jika sejarahnya dirunut ke belakang dimotori oleh cendikiawan Islam. Sayangnya para generasi penerusnya mengubah partai menjadi sekedar Partai Bangga Bapak, yang tidak mewarisi nilai perjuangan sejati para pendirinya. Partai ini sekarang sekedar Partai Biasa-Biasa saja. Saking biasanya, tidak menarik untuk dibahas.

Untuk yang fanatik warna hijau, ada Partai Pemecah Persatuan. Partainya dulu satu memakai warna hijau. Seiring kerakusan duniawi, akhirnya bercerai-berai menjadi seperti cendol, tetap hijau tapi bercerai berai menjadi potongan-potongan kecil, yang disusupi orang-orang berpaham sekularisme, liberalisme, komunisme, pluralisme. Kadernya pun banyak tersangkut kasus korupsi dan suka dugem.

Ada Partai Menguntit Bapak. Entah karena kurang percaya diri atau apa, logo partainya pun mirip dengan partai induknya dulu yang memakai gambar matahari bersinar. Perbedaannya hanya pada warna.Bapaknya pakai warna biru, sedangkan anaknya coklat kemerahan. Tak jelas visi dan misinya. Juru bicara yang ditunjuk debat antar-partai Sabtu malam di RRI (4/4) saja hanya mampu berbicara terbata-bata, tanpa fokus yang jelas.

Ada yang menyarankan memilih caleg partai Islam yang dikenal. Masalahnya caleg yang ada di sekitar saat ini profilnya sebagai berikut:

1. Seorang bapak yang suka tertidur jika mendengarkan ceramah, padahal ia juga dikenal sebagi seorang dosen dan dai.

2. Seorang bapak yang punya usaha, jatuh bangun, dan setelah menjadi anggota legislatif hutang pun lupa tidak dibayar.

3. Saya tidak tega menampilkan profilnya.

Bingung menentukan pilihan? Jangan bertanya pada rumput, karena ia hanya akan bergoyang, seakan berkata "tidak tahu". Tanyakan saja pada Bang Tokek. Pilih siapa Pemilu 2009 ini? Pasti jawabnya: "Contreng! Tidak! Contreng! Ti…" Wallahu a’lam

Wassalam,

Comments :

0 komentar to “Pilih "Tokek" di pemilu 2009”

Posting Komentar

 

Copyright © 2009 by irhabi al-mubarok